ZEN DAN SENI HAIKU


I.                HAIKU DALAM PERSPEKTIF ZEN

Zen Jepang dikaitkan dengan berbagai bentuk seni lukis, kaligrafi, merangkai bunga, seruling shakuhachi , seni bela diri, upacara minum teh. Puisi juga merupakan seni tradisional Zen, dan bentuk puisi Zen yang paling terkenal adalah haiku.  Haiku menghadirkan kontemplasi yang muncul dari kehidupan spiritual penulis, dan haiku yang terbaik berbicara kepada kehidupan spiritual pembaca.

Haiku mengambil dunia emosi terkonsentrasi dan percikan kreatif yang diciptakan oleh fakta-fakta sederhana, bahkan dari hal yang kecil yang selama ini sering luput dari perhatian kita, dan haijin mengubahnya kedalam puisi pendek yang mampu mengorientasikan semangat menuju satori, atau pencerahan Zen. Semua ini dilakukan dalam sebuah bidang ekspresi yang sempit, terbatas hanya 17 silabel (suku kata ketika diucapkan) dan terdiri dari tiga kelompok suku kata yakni, 5-7-5 suku kata.
Melalui penyatuan antara yang mengamati (penyair haiku atau haijin) dan yang diamati (objek-objek yang ada di alam), yang mana hal ini terkadang sangat sulit untuk dibayangkan oleh pikiran awam, tapi terutama melalui keheningan, sebuah kesatuan antara “dilihat” yang tidak pernah berakhir, bervariasi dan kompleks, dan sebuah “kontradiksi” yang tak henti-hentinya, sederhana dan tidak dapat ditembus atau sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata namun dapat diwujudkan dalam haiku. Kekuatan haiku Zen terletak pada perwujudan bentuk dan kekosongan. Haiku juga disebut sebagai “model untuk estetika keheningan”, secara intuitif menyajikan kenyataan yang mengungkapkan suatu keheningan yang tak terbatas, merekam momen yang anggun itu di suatu tempat, si suatu waktu, dan dengan demikian haiku yang tercipta memberi pembaca kebebasan yang cukup besar dalam intervensinya sendiri untuk menciptakan makna.

Haiku hanyalah sebuah bahasa puitis yang ditandai dengan “ambiguitas” dan “ketergantungan tinggi pada konteks”, bersamaan dengan budaya yang diilhami oleh filsafat Zen dapat menciptakan kelahiran jenis puisi pendek dan memukau, dan yang pasti kesederhanaan bahasa dalam cara penyampaiannya bisa menjadi bukti kedalaman semantik.

Haiku adalah cara melihat dunia. Haiku mencerminkan kehidupan spiritual penyair, dan haiku yang baik seharusnya bisa masuk ke dalam kehidupan spiritual para pembacanya. “Haiku,” kata RH Blyth, “harus dipahami dari sudut pandang Zen.  Daisetz Suzuki, juga mengatakan bahwa selain Zen, “haiku tidak mengungkapkan gagasan tapi … mengemukakan gambar yang mencerminkan intuisi”.  “Ketegangan dan kontras antar gambar,” kata Finlay, adalah komposisi penting dalam haiku.

Objek-objek yang ada di alam adalah unsur penting dalam puisi Zen (haiku).  Dalam haiku tradisional Jepang, hampir selalu ada “kata musim”. Jika ada kata yang tidak menyebutkan musim secara langsung, itu adalah kata benda yang bisa dikenali terkait dengan waktu tertentu dalam setahun. Ini “kata-kata orientasi” yang disebut sebagai Kigo, biasanya menyangkut langit, sungai, danau, laut, geografi, benda-benda astronomi, hewan, atau tumbuhan.

Mayoritas haiku mencapai efek utamanya melalui perangkat yang disebut Kireji, yang berfungsi membuat teks terpenggal menjadi dua bagian yang mana tiap-tiap bagian  mencerminkan sebuah gambar. Terkadang garis potong sepenuhnya muncul secara alami lewat penjajaran yang bersifat kontradiktif, sebagaimana prinsip zen itu sendiri, yakni: merangkul dua hal yang berlawanan (kontradiktif) dan mengintegrasikan keduanya, untuk menghasilkan suatu kondisi yang kita sebut sebagai pengalaman baru atau pencerahan. Kireji memiliki efek: penekanan pada suatu objek, memotong alur cerita, dan akhirnya memunculkan suatu ending cerita yang membuat mata pembaca jadi terbuka karena menemukan suatu pengalaman yang baru (Kensho).

Menghadirkan kontradiksi adalah salah satu tujuan haiku, melalui pemahaman atasnya maka alam pikiran bawah sadar dibangkitkan menuju suatu kesadaran. Singkat kata, kontradiksi dihadirkan dalam haiku dalam rangka untuk membangkitkan kesadaran pada nilai-nilai kehidupan. Satori atau Kensho (pencerahan yang tidak sedalam satori) adalah efek dari kontemplasi. Ciri-ciri haiku yang bersifat kontemplatif maka ada terkandung kontradiksi atau paradoks di dalamnya. Dua hal yang saling bertolak belakang itu akan memancarkan kilas-kilas cahaya bila disejajarkan. Pada pengertian ini Ma atau ruang kosong harus dihadirkan dan pertimbangan di mana tanda kireji (cut marker) harus diletakan.  Keterpenggalan haiku sejatinya terjadi pada suatu titik di mana dua hal yang kontrakdiktif muncul dan di sejajarkan. Keterpenggalan itu menimbulkan luka atau celah, ruang jeda ini yang kita sebut sebagai Ma.

Haiku yang terpenggal menjadi dua bagian, yang mana tiap-tiap bagian itu mencerminkan satu gambar, lalu keduanya diperbandingkan. Dalam menjajarkan dua gambar ini; haijin harus memiliki intuisi bahwa beberapa hal tertentu, walaupun memiliki karakteristik “berlawanan”, namun memiliki resonansi satu sama lain yang akan membangkitkan sebuah pencerahan ketika disandingkan sesuai dengan estetika haiku yang telah teruji waktu.
Apa itu Intuisi? Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Pemahaman itu tiba-tiba saja datangnya dan di luar kesadaran. Intuisi terkadang disebut sebagai indera keenam manusia. Kalau pada hewan kita menyebutnya sebagai instink. Tidak semua intuisi berasal dari kekuatan psikis. Sebagian intuisi bisa dijelaskan sebab musababnya, salah satunya dipahami sebagai refleks yang muncul sebagai buah ketekunan mengolah jiwa dan raga.

Intuisi haijin harus terhubung dengan Zoka (watak seni kreatif alam), intuisi biasanya muncul sebagai efek pikiran kontemplatif, hal yang dilakukan dengan cara  mengosongkan pikiran dari ide, gagasan, imajinasi, atau pengetahuan yang dimilikinya, dan menyatu dengan alam. Intuisi ototmatis muncul dan mengisi kekosongan pikiran, dan semua ini terkait dengan Shikantaza dan  5 sikap mental Zen yang akan sedikit dibahas dalam tulisan ini. Mungkin haiku katak karya Basho di bawah ini masih sangat relevan untuk menjadi contoh bagaiman bentuk asli haiku Zen:

“Furuike ya / kawazu tobikomu / mizu no oto”

Kolam yang tua:
katak melompat masuk
suara air

Haiku di atas sederhana sekali. Ini merupakan prinsip penting dalam penulisan puisi Zen, haiku harus disampaikan dalam bahasa yang sederhana agar mudah dicerna oleh umum. Dalam haiku, setiap kata berarti sesuatu atau ada maknanya sendiri. Pada tingkat objektif, terlihat kata benda mengendalikan pembaca di setiap baris: “kolam,” “katak,” dan “air.” Puisi itu bersifat visual dan aural, seperti yang kita lihat katak melompat masuk dan kita mendengar percikan. Haiku Zen selalu menghadirkan satu adegan. Adegan dalam haiku di atas melibatkan kolam dan katak, yang mana katak adalah objek utama atau sang tokoh hero dalam adegan sesaat itu.

Dalam haiku Zen semacam ini, bahwa tindakan sederhana seekor katak yang melompat ke kolam adalah fenomena nyata yang disensor oleh indera manusia langsung dari alam, dan apa yang tersirat di dalamnya mewakili ketenangan kehidupan yang seimbang, puisi yang keluar dari dalam diri, mencerminkan kecerdasan emosional spiritual penulisnya. Dalam sudut pandang Zen, setiap orang hidup di dunia yang diciptakannya lewat kesadarannya sendiri.

Haiku adalah ungkapan pengalaman langsung, bukan ungkapan gagasan tentang pengalaman. Kesalahan yang paling umum dilakukan oleh penulis haiku pemula adalah menggunakan haiku untuk mengekspresikan “ide” tentang pengalaman, bukan “pengalaman” itu sendiri. Haiku adalah ekspresi Zen yang paling menyeluruh. ‘Moment haiku’ demikian tidak lain adalah kilasan kecil dari realitas tertinggi yang nyata terjadi di depan mata. Haiku adalah fenomena alam itu yang kita lihat melalui cermin (pikiran yang jernih adalah sebuah cermin), suatu kejadian yang kita sensor secara langsung dengan kelima indera, di suatu tempat pada setitik waktu, dan kita sampaikan kepada pembaca sebagaimana adanya.

Banyak haijin yang menyatakan: “ini moment haiku!” Tapi ego subjektif, sebut saja sentiment, imajinasi, ide-ide, dogma, atau pengetahuan dalam pikiran haijin mengganggu persepsi mereka tentang objek itu. Mereka hanya mampu mengekspresikan “ide” tentang pengalaman mereka, bukan mengungkapkan tentang “pengalaman” itu sendiri secara jernih, jujur, dan tidak menipu diri sendiri.

Dalam perspektif Zen, tentang kondisi optimal untuk pembuatan haiku, ada dua kondisi yang penting: Pertama ada priming dan internalising dari bentuk – masuk ke suasana (mood) dan mode haiku.  Kedua, dan yang lebih penting, adalah membuka pikiran kontemplatif.  Basho menasehati: “Saat membuat sebuah ayat jangan sampai batas rambut memisahkan pikiran Anda dari apa yang Anda tulis; komposisi sebuah puisi harus dilakukan dalam sekejap, seperti penebang kayu yang menebang pohon besar atau seorang pendekar pedang yang melompat ke musuh yang berbahaya”.

Haiku adalah cermin fenomena alam bagaimana adanya. Mereka menarik perhatian kita seperti adanya. Secara intuitif kita menangkap sebuah resonansi bahwa mereka mengungkapkan bagaimana hal itu seperti yang dialami oleh manusia. Alam menampilkan dirinya dalam sebuah adegan, tanpa dorongan puitis dari siapa pun, dan dengan intuisi kita menangkapnya sebagai suatu bayangan di cermin kehidupan. Kita menyadari bahwa “itu capung atau katak”, dan kita hanya menyampaikan kepada pembaca bahwa gambar capung itu sebagai capung, gambar katak itu sebagai katak, bukan sebagai sesuatu yang lainnya.

Perasaan metafora mungkin sangat kuat ketika penyair memiliki perasaan sendiri dalam pikiran (pikiran subjektif) ketika menyampaikan adegan. Namun penggunaan metafora dalam haiku bertentangan dengan prinsip haiku Zen: “menghargai adegan alami yang terjadi di alam sebagai realitas tertinggi yang ada di depan mata”.  Aspek kejujuran dan ketulusan haijin pada alam jadi dipertanyakan. Haiku yang baik memang biasanya cenderung ditangkap sebagai metafora oleh pembacanya, ini kondisi manusiawi yang beresonansi dengan adegan alami yang kita sampaikan. Namun haijin sama sekali tidak berniat menyampaikan itu sebagai suatu metafora. Metafora atau bukan biasanya hanya sesama haijin yang dapat membedakannya dengan jelas.

Haiku adalah puisi alam. Ketika alam berubah dramatis hanya penyair haiku terbaik yang bisa mengekspresikan drama dan mempertahankan semangat haiku tanpa memikirkan melodrama subjektif. Wawasan tentang momen haiku dan bagaimana haiku berproses di dalam diri haijin menjadi isu menarik untuk dibahas. Dalam momen haiku, kesigapan haijin dalam menangkap momen itu akan mempengaruhi bagaimana haiku berproses di dalam dirinya. Sejak awal selalu ditekankan kepada haijin pemula: singkirkan segala macam ide, pikiran, dogma, kepercayaan, dan pengetahuan ketika menangkap momen haiku.

Kekuatan haiku Zen terletak pada perwujudan bentuk dan kekosongan. Dalam “kesadaran kekosongan”, pikiran adalah cermin, bukan lensa. Sifat cermin adalah hanya menampilkan suatu bayangan, seperti halnya bayangan bulan di dalam kolam. Apa pun yang muncul di dalam cermin hanya diamati, tanpa diberi komentar seperti: “indah, sejuk, dingin, atau menghangatkan hati, dst”. Prinsip haiku Zen ini pernah dikritik oleh Masaoka Shiki sebagai suatu hal yang kaku.  Shiki bukan pendeta Zen ataupun samurai seperti Matsuo Basho yang berjasa memperbaharui Hokku (cikal bakal haiku) sehingga bisa berdiri sendiri dari rangkaian puisi renga atau haikai.

Prinsip penting yang dinyatakan kaku itu justru berkembang dan berakar kuat, dikatakan sebagai salah satu inti Zen, pada seni bela diri tradisional yang sangat dipahami oleh para samurai Jepang. Namun secara umum, Masaoka Shiki telah berjasa besar  dengan memisahkan hokku dari rangkaiannya dan memberinya nama Haiku. Berkat jasa besar seorang Masaoka Shiki maka haiku jadi begitu terkenal dan tersebar luas ke seluruh dunia, menjadikan puisi yang sangat pendek ini sebagai bagian dari sastra dunia.


II.              SIKAP MENTAL ZEN TERKAIT SENI HAIKU

Dalam konteks menambah wawasan tentang haiku tradisional Jepang (hokku) maka kita harus berbicara tentang pengertian Zen dan kondisi mental Zen: Mushotoku, Hishiryo, Zanshin, Fudoshin, Mushin. Lima kondisi mental Zen ini sangat jelas merupakan sumber atau akar dari berbagai aturan haiku Zen yang kita kenal sangat ketat.  Sebagaimana yang dikatakan Matsuo Basho kepada murid-muridnya yang mengeluh tentang aturan yang ketat, Basho bilang: “Pelajari dan pahami. Setelah itu lupakan!”

Dalam sebuah artikel yang berjudul “What is Zen?”, dijelaskan bahwa mendefinisikan Zen ibarat mencoba menggambarkan rasa madu kepada seseorang yang belum pernah mencicipinya.  “Anda bisa mencoba menjelaskan tekstur dan aroma madu, atau Anda bisa mencoba membandingkan dan mengkorelasikannya dengan makanan sejenis. Namun sayang madu! Selama Anda belum mencicipinya, Anda berada dalam ilusi tentang apa itu madu”.

Zen adalah praktik yang perlu dialami, bukan konsep intelektualitas yang dapat dipahami dengan otak.  Zen adalah laku spiritual, pengertiannya dalam bahasa Jepang adalah meditasi. Tanpa meditasi maka Zen bukanlah Zen. Meditasi Zen adalah cara kewaspadaan dan penemuan jati diri dilakukan: duduk dengan tenang, berhenti bergerak, dan lepaskan pikiran. Fokus hanya pada pernapasan, biarkan ego dan akal bawah sadar mengalir, bergabung dengan alam semesta.

Meditasi Zen atau Zazen adalah salah satu bentuk kontemplasi diri. Intinya adalah kontemplasi, menyelidik ke dalam diri sendiri, dan ini bukan  merupakan suatu kepercayaan, dogma, agama, dan bukan pula teori, gagasan, atau pengetahuan. Ini adalah tentang pengalaman praktis kehidupan spiritual para penganut Zen dalam menemukan kesadaran atau pencerahan diri.

Pengertian Zen sendiri agak kenyal dan sulit untuk didefinisikan. Saat anda berfikir bahwa anda sudah berhasil mendefinisikannya maka bisa jadi itu bukan Zen lagi.  Haiku mengandung dua aspek yakni: seni dan spiritualisme. Ada puisi dalam konsep seni untuk seni, dan ada pula puisi yang berpegang pada konsep seni untuk spiritualisme. Hokku adalah sebutan untuk haiku tradisional Jepang, merupakan refleksi dari filosofi Zen, kental menerapkan prinsip: puisi sebagai seni untuk tujuan spiritual.

Zen tidak tertarik pada teori metafisik atau ritual. Zen fokus sepenuhnya pada praktik meditasi sadar, dilakukan dengan sangat sederhana, dan dalam kesederhanaan sikap di keseharian maka banyak keindahan memunculkan dirinya di depan mata kita, muncul dari fenomena nyata di keseharian, mungkin itu sesuatu yang luput dari perhatian kita yang selama ini dipenuhi oleh pikiran beragam persoalan hidup. Pencerahan jiwa itu bagaikan fenomena melihat bulan di dalam kolam: bulan tidak rusak di dalam air, dan air kolam tidak meluap karena ada bulan di sana. Tidak ada yang berubah, namun ada keindahan bathiniah yang terlihat dan kita nikmati, kita saksikan langsung di dalamnya.

Hampir semua manusia menyadari bahwa dalam berinteraksi dengan  tiap makhluk yang tercipta selalu ada dua sisi yang harus dihadapinya, bahkan hal ini juga melekat pada dirinya sendiri: baik-buruk, hitam-putih, tinggi-rendah, lebar-sempit, atas-bawah, perang-damai, senang-susah, bahkan sorga-neraka. Dua sisi dari lembar kehidupan ini sering dipahami sebagai kontradiksi kehidupan. Kontradiksi adalah realitas kehidupan.

Zen tidak menilai baik atau buruk segala hal, tidak berusaha menjawab pertanyaan subjektif yang berkaitan dengan  Tuhan, akhirat, reinkarnasi, dan spiritualisme karena itu bukan isu penting bagi Zen. Saat sekarang, di sini, dan saat ini adalah hal yang penting bagi Zen. Dengan tegas Zen mengatakan bahwa tidak ada yang tahu jawaban atas pertanyaan tersebut. Bahwa pertanyaan tersebut tidak mungkin dijawab karena kondisi kita terbatas, hakikat kita tidak sempurna.

Zen dengan senang hati menerima gagasan bahwa pria hanyalah laki-laki, capung hanyalah capung, dan tidak lebih dari itu. Menyadari apa adanya, tidak ingin berspekulasi menjawab pertanyaan tentang hidup yang tidak mungkin dijawab tanpa jatuh ke dalam perangkap ilusi. Tidak ada yang tahu jawaban atas pertanyaan mendalam tentang kehidupan dan kematian. Agama memberikan jawaban atas segala sesuatu sebagai tanda “kebijakan agung”. Zen bukan agama, karena itu tidak memberikan jawaban sama sekali adalah hikmat agung.

Zen tidak menolak materialisme, namun menolak ketergantungan padanya. Dalam prinsip Zen: kita perlu merangkul sipritualisme dan materialisme, seperti halnya kita memahami eksistensi sisi depan dan belakang selembar kertas. Zen menganggap kehidupan ini tak ubahnya selembar kertas yang memiliki dua sisi, merangkul dua hal yang berlawanan (kontradiksi) dan mengintegrasikan keduanya  untuk menghasilkan suatu kondisi yang dapat membantu seseorang mencapai dimensi tertinggi, mushotoku.

Konsep Mushotoku, mungkin lebih tepat digambarkan sebagai sikap tulus dalam bertindak untuk segala hal. Ini mewakili keadaan pikiran dimana seseorang secara rohaniah tidak memikirkan timbal-balik apapun ketika berbuat. Ini kearifan universal yang melampaui dualitas kehidupan (kontradiksi kehidupan) dan melampaui kerbatasan yang diciptakan oleh ego manusia.

Janganlah berlatih pedang untuk ketenaran atau keuntungan. Jangan mempraktikkannya untuk mendapatkan hadiah; Jangan mempraktikannya untuk mendapatkan kekuatan esoteris (kekuatan metafisik). Berlatihlah pedang untuk diri sendiri, dalam rangka bertahan hidup. Konsep ini merupakan langkah awal menuju penyatuan diri sejati dengan alam semesta. Sikap tulus menghargai fenomena alam dan sesuatu yang alami, sikap yang harus ditanamkan ke dalam diri haijin, filosofinya berakar pada konsep ini.

Mushotoku berarti menyingkirkan keterikatan pada tingkat mental, yaitu menjadi tidak terikat dengan keuntungan pribadi dalam segala bentuk. Melepaskan keuntungan berarti melepaskan diri sendiri. Pada akhirnya, sikap berserah diri adalah prestasi terhebat yang bisa Anda capai. Mushotoku adalah Anda, saya dan seluruh alam semesta dalam ketulusan murni.

Konsep Hishiryo adalah keadaan pikiran yang tidak memikirkan apapun, tapi menyadari pikiran yang datang dan pergi.  Bila Anda berpikir terlalu banyak, konflik dan peperangan menguasai pikiran Anda, mencegah Anda untuk menemukan kedamaian sejati. Hal ini mencegah Anda untuk selaras dengan kenyataan, dan dengan alam semesta secara keseluruhan.  Imajinasi dan keinginan pribadi Anda mengekspresikan diri mereka ke dalam pikiran Anda, membawa Anda menjauh dari kondisi sederhana, damai, asli pikiran Anda. Hishiryo adalah kesadaran egolessness mutlak, dalam kesatuan penuh dengan seluruh alam semesta.  Tidak memikirkan apapun adalah Jalan. Begitu Anda tahu ini, semuanya menjadi Jalan. (Bodhidharma).

Konsep Zanshin. Setiap tindakan dan setiap pikiran di sini dan sekarang harus benar dan harmonis: ini adalah Zanshin. Konsep ini  yang ditemukan di berbagai cabang seni Zen, Budo (seni bela diri Jepang), terutama Kendo, dan Ikebana (rangkaian bunga), chado (upacara minum teh) dan sumi-e (lukisan tinta). Konsep Zanshin adalah bahwa seseorang harus hadir sepenuhnya dalam tindakan apa pun yang ada. Saat saya makan, saya makan. Pikiran saya sepenuhnya terlibat dalam aksi makan. Saat aku bertarung, aku bertarung. Pikiran saya sepenuhnya terlibat dalam aksi berkelahi. Saya berada di sini dan sekarang, benar-benar tenggelam dalam momen haiku yang saya alami.  Jika Anda tidak bahagia di sini dan sekarang, bagaimana Anda bisa bahagia? (Taisen Deshimaru).

Konsep Fudoshin adalah ‘pikiran tak tergoyahkan’, yaitu pikiran yang telah memenuhi semua tantangan kehidupan, dan telah mencapai ketenangan dan ketidakberdayaan. Fudoshin dikaitkan dengan perasaan tak terkalahkan, pikiran yang tidak bisa diganggu oleh perasaan melankolis subjektif, kebingungan, keraguan-keraguan, atau ketakutan.  Di Feudal Japan, Fudoshin diwujudkan dalam demonstrasi keberanian Samurai yang tak diragukan lagi, dan tekad untuk menghadapi kesulitan, bahaya, rasa sakit, dan bahkan kematian, tanpa rasa takut. Sebagai pendekar pedang Jepang, Tsukahara Bokuden berkata: “Ketenangan mental, bukan keterampilan , adalah tanda samurai yang matang “.  Seluruh bulan dan seluruh langit tercermin dalam satu embun di rumput. (Dogen Zenji).

Konsep Mushin adalah inti dari seni bela diri Zen. Mushin secara harfiah berarti “pikiran tanpa pikiran”, dan ini biasa disebut “keadaan tanpa pikiran”. Ini adalah keadaan dimana pikiran tidak dikendalikan oleh pikiran yang mengganggu seperti: keasyikan, ketakutan, kehawatiran, atau emosi, entah dalam pertempuran atau kehidupan sehari-hari. Karenanya pikiran terhubung dengan Kosmos. Dalam kehidupan sehari-hari Anda, jika suatu kehendak atau keinginan berbuat sesuatu karena adanya dorongan yang diungkapkan sebagai pemikiran sadar, itu bukan Zen. Spontanitas, inilah intinya. Keadaan pikiran murni ini, dari kejernihan mental murni, dihasilkan oleh tidak adanya ego atau keterbatasan diri. Pikiran Mushin bukanlah pikiran kosong seperti cangkang kosong, sebaliknya, ini adalah kondisi mental dimana pikiran benar-benar hadir, sadar dan bebas.

Konsep Mushin identik dengan ekspresi metafora Jepang “Mizu no Kokoro” atau “pikiran seperti air.” Sikap mental ini mengacu pada pikiran yang selaras total dengan Cosmos sehingga menyerupai kolam yang masih ada air tanpa riak, dimana permukaannya menampilkan citra lingkungan sekitar yang jelas dan tidak terdistorsi, seperti cermin.
Mushin tercapai bila pikiran seseorang terbebas dari amarah, ketakutan, atau ego selama pertempuran atau kehidupan sehari-hari. Pikiran Mushin tidak memiliki Ego dan tidak ada substansi; Itu adalah Pencerahan murni dan merupakan realisasi sempurna dari diri. Keadaan pikiran ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berlatih. Mushin tercapai bila pikiran seseorang terbebas dari kemarahan, ketakutan, penghakiman, atau ego selama pertempuran atau kehidupan sehari-hari.  Fenomena tidak berbeda dengan kekosongan, kekosongan tidak berbeda dengan fenomena. (Sutra Hati).


III.            CARA SEDERHANA MENAMPILKAN WABI-SABI DALAM HAIKU

Wabi-sabi adalah konsep estetika tradisional Jepang,  ini merupakan estetika Zen, merupakan filosofi cara melihat dunia, berpusat pada “kesadaran kekosongan” dan penerimaan ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan. Estetika ini kadang-kadang digambarkan sebagai “menemukan keindahan” di dalam suatu yang tidak sempurna, tidak kekal, dan tidak lengkap. Namun bila dikaji lebih jauh lagi Wabi-Sabi merupakan kristalisasi filosofi cara berpikir Zen yang tertuang dalam beragam bentuk ekspresi  seni Zen.

Wabi-Sabi dalam haiku adalah hal yang terkait dengan objek yang disensor dengan indera kita, dalam suatu peristiwa atau adegan yang terjadi di alam, misalkan: menatap ranting-ranting gundul lalu terlihat pula daun-daun kering berguguran dan berserak. Ekspresi muncul karenanya, di dalam diri kita, perasaan melankolis yang tenang, terselip rasa kesepian, dan ada kerinduan yang tak tersimpulkan atau tak uraikan. Namun seketika kita  menyadari tiga realitas sederhana yang harus terjadi di dalam kehidupan fana ini: tidak ada yang abadi, tidak ada yang sempurna, tidak ada yang selesai.

sepanjang jalan
terlihat berguguran
daun yang kering

WABI merujuk pada kesederhanaan, kesunyian, keheningan, kesegaran atau ketenangan suasana pedesaan, dan dapat diterapkan pada objek alami dan buatan manusia, atau keanggunan yang bersahaja.  Wabi adalah jiwa yang berusaha menemukan sesuatu di dalam sabi. Wabi mengacu pada konstruksi filosofis atau lima sikap mental spiritual Zen (Mushotoku, Hishiryo, Zanshin, Fudoshin, Mushin), ruang “kesadaran kekosongan” pada diri haijin, atau jalan hidup atau jalan spiritual.

SABI adalah konstruksi estetis yang berakar pada OBJEK dan fitur-fiturnya, ditambah dengan kemunculannya dalam suatu musim atau waktu, kronologi atau adegan, dan objektivitas dalam cara penyampaiannya. Sabi merujuk pada sesuatu yang berubah di dalam waktu. Filosofi ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan adalah landasannya.
Objek-objek Kigo dalam haiku umumnya mengandung makna sabi. Objek-objek itu merujuk pada musim atau waktu tertentu, datang dan hilangnya objek-objek itu terkait dengan musim atau waktu. Ada filosofi ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan hidup di dalam objek kigo. Karena itu haijin harus jeli, dan harus memilih diksi yang tepat agar makna ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan yang tersembunyi dalam objek kigo, mencuat dengan sendirinya meski tanpa interpretasi atau ide-ide atau tanpa subjektifitas pikiran haijin di dalamnya.

Basho mengubah WABIZUMAI yang ia alami ke dalam PUISI SABI, dan melankolis alam muncul menjadi semacam kerinduan yang tak berujung, kerinduan tanpa disertai kesedihan. Membuat ketegangan antara wabi dan sabi merupakan pengalaman yang memperkaya dan tak habis-habisnya.  SABI sebagai ekspresi luar dari nilai estetika dibangun di atas prinsip-prinsip metafisik dan spiritual Zen, namun haijin menterjemahkan nilai-nilai ini ke dalam kualitas artistik dan material. Objek mencerminkan fluks universal “datang dari” dan “kembali ke.” Mereka mencerminkan ketidakkekalan yang tetap menyenangkan dan provokatif, yang mengarahkan pembaca ke refleksi dan kontemplasi-kembali ke wabi-kembali lagi ke sabi. Sebuah pengalaman estetika yang dimaksudkan untuk menghasilkan perspektif holistik yang damai dan transenden.

Ketika seorang haijin menulis sebuah haiku tentang sesuatu yang ia inginkan, dia akan sering mencoba untuk menangkap keindahan sementara dan kualitas abadi dalam keindahan, merangsang munculnya perasaan melankolis yang menguntungkan untuk ditulis sebagai haiku. Haiku yang paling sukses dari jenis ini menghasilkan kejelasan persepsi di mana pembaca melihat subjek haiku untuk apa adanya.

Misteri sabi mencuat ketika menyimak pernyataan dari Basho: “Dimana tidak ada sabi, akan ada kesedihan.” Maka sabi tidak mencakup apa yang biasanya diartikan sebagai kesedihan. SABI melampaui kebahagiaan dan kesedihan pada kualitas kesepian dalam eksistensi tunggal. Kesendirian Sabi, menurut Alan Watts, adalah dalam melihat sesuatu “terjadi ‘sendiri’ dalam spontanitas yang menakjubkan.” Kejutan besar adalah bahwa ketika kita membenamkan diri kita di alam, merasakan kesepian, untuk saat ini, dari segala sesuatu. Sabi kesepian seperti ini adalah keadaan di mana, tidak memiliki apa-apa, kita memiliki semua.

Dalam perspektif Zen, memahami kekosongan dan ketidaksempurnaan adalah langkah pertama menuju pencerahan. Matsuo Basho bilang: “Sabi adalah warna dasar (priming) haiku.” Pada pandangan yang dangkal tentang Sabi biasanya merujuk pada sesuatu yang sudah tua, aus, tenang, lembut dan bermartabat.  Sabi adalah sikap menerima apa yang muncul di dalam kekosongan pikiran, terkait dengan berbagai perubahan yang terjadi di alam, seiring laju perubahan waktu.

Sikap penerimaan yang diwarnai dengan perasaan yang melampaui rasa sedih atau bahagia, sikap menerima karena memahami bahwa kenyataan hidup: tidak ada yang sempurna, tidak ada yang kekal, tiap-tiap sesuatu yang tercipta pasti akan menemui takdirnya sendiri. Sabi adalah sejenis emosi melankolis murni dan agung, realitas tertinggi yang diterima dengan cara “tidak memusatkan emosi melankolis yang muncul dari alam sekitar ke dalam diri sendiri”, tetapi semua itu diterima sebagai rasa hormat atas apa adanya!

Singkat kata, haiku adalah puisi cerminan filosofi Zen, seperti prinsip meditasi Zen yang menekankan pada “sekarang, saat ini, di sini”. Tidak seperti puisi lainnya, haiku umumnya tidak menggunakan metafora atau citra yang tidak jelas atau pikiran subjektif penyair. Haiku muncul dari kehidupan spiritual penulis, dan haiku yang terbaik berbicara kepada kehidupan spiritual pembaca. Lantas apa yang dimaksudkan dengan pengetian pencerahan dalam konsep haiku?

Kita simak kalimat berikut ini: “Sebelum pencerahan; Potong kayu, bawa air. Setelah pencerahan; Potong kayu, bawa air. ” (Buddha). Pencerahan adalah seperti melihat bulan di dalam kolam yang jernih, keduanya sama-sama tidak ada yang berubah. Bulan tidak rusak di dalam air, dan air kolam tidak meluap karena ada bulan di dalamnya. Pencerahan pada esensinya adalah menemukan suatu keindahan di hal-hal yang sederhana,  sebagai buah melankolis objektif yang muncul dari hasil mengamati siklus alam, berkat kepekaan diri terhadap alam dan keadaan yang ada di sekeliling kita.


IV.            MEDITASI SHIKANTAZA

Shikantaza secara harfiah, berarti “hanya pikiran duduk.” Paling tidak, Anda harus jelas bahwa Anda sedang duduk. “Pikiran Anda hanya duduk” berarti mengetahui bahwa tubuh Anda sedang duduk di sana. Ini tidak berarti memikirkan bagian tertentu dari tubuh Anda atau terlibat dalam sensasi tertentu. Seluruh tubuh Anda sedang duduk di sana, duduk dengan pikiran tunggal.

Shikantaza adalah ‘kesadaran kosong’, di mana pikiran adalah cermin, bukan lensa. Duduk berkonsentrasi dalam  ketenangan mental sambil mengamati alam semesta, mengacu pada kesadaran kekosongan. Apapun yang muncul hanya diamati, tanpa komentar mental, dan larut seperti gelembung. Bagi Haijin (penyair haiku) ini adalah cara melatih senstivitas Anda terhadap alam, teknik melatih fokus pikiran dan kontemplasi, menjawab pertanyaan tentang maksud atau pengertian “objek dan subjek menjadi satu”, misteri Haiku Zen yang jarang terungkap.

Secara tradisional, penyair haiku telah menganggap alam sebagai materi pelajaran mereka, karena lebih mudah diakses secara kontemplatif. Haiku adalah ekspresi Zen yang paling menyeluruh. Mereka juga merupakan salah satu dari beberapa ‘Jalan’ meditasi (seperti kaligrafi dan lukisan tinta minimal, zenga dan haiga) yang bentuknya keduanya memberi ekspresi pada wawasan dan membantu memperdalamnya. ‘Saat haiku’ demikian tidak lain adalah kilasan kecil dari realitas tertinggi yang sebenarnya adalah apa yang ada di depan mata kita. Ini berarti bahwa haiku harus muncul dari pikiran yang terbuka dan terhalang oleh dorongan untuk mewujudkan realitas yang telah menarik perhatian si penyair.

Banyak haijin memahami apa itu yang namanya ‘momen haiku’. Tapi ego subjektif, sebut saja sentimen atau  imajinasi, mengganggu persepsi mereka tentang objek itu. Haiku tidak lebih dari sekadar cerminan bagaimana adanya. Mereka kadang tidak menarik perhatian kita seperti adanya. Namun mereka mengungkapkan bagaimana hal itu seperti yang dialami oleh manusia.

Lebih dari sekedar itu, memahami Shikantaza berarti memahami pula “sikap haiku”,  membuka wawasan kita tentang keluasan makna perkataan Basho: “Saat membuat sebuah ayat jangan sampai batas rambut memisahkan pikiran Anda dari apa yang Anda tulis; komposisi sebuah puisi harus dilakukan dalam sekejap, seperti penebang kayu yang menebang pohon besar atau seorang pendekar pedang yang melompat ke musuh yang berbahaya”.

Ini adalah praktik meditasi shikantaza , atau “hanya duduk.” Anda duduk, bersila jika bisa, dan membiarkan pikiran Anda sendiri. Bila Anda berhenti berpikir, Anda mencapai titik non-berpikir. Ini adalah salah satu paradoks khas Zen yang membuat otak Anda mencoba dan memutar-mutar kata-kata itu, “bukan”, “non-berpikir” dan “berpikir” untuk mencari tahu apa artinya.

Tidak seperti bentuk meditasi lainnya, shikantaza tidak melibatkan konsentrasi pada benda, seperti nafas atau mantra. Ini adalah “meditasi tanpa tujuan,” di mana Anda berfokus pada semua hal pikiran alami Anda: suara, perasaan – tanpa melekat pada salah satu dari keduanya. Ketika Anda sampai di sana, Anda tahu apa itu.

Begitu Anda menyesuaikan postur tubuh Anda, tarik napas dalam-dalam, tarik napas dan buang napas, gerakkan tubuh Anda ke kanan dan ke posisi duduk yang mantap dan tidak bergerak. Jangan berpikir-berpikir. Menurut Anda bagaimana tidak-berpikir? Tidak berpikir. Ini sendiri adalah seni penting Shikantaza.

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa meditasi dalam bentuk apapun baik untuk otak. Bahkan jika Anda tidak ingin mengikuti jalan meditasi, atau tradisi tertentu, hanya duduk selama beberapa menit setiap hari bisa menjadi cara yang bagus untuk kembali berhubungan dengan kenyataan dan mengisi ulang otak Anda. Anda bisa menggunakan hanya duduk di tanah sendiri, untuk mengambil beberapa menit dari pusaran dunia di sekitar Anda.

Anda sudah pasti pernah melakukan ini berkali-kali. Mungkin Anda sedang mendaki gunung, dan menemukan pemandangan yang sangat bagus. Anda duduk di beberapa batu, dan hanya duduk. Pada awalnya, Anda melihat pandangan itu, tapi kemudian pikiran Anda berhenti sejenak saat Anda menghargai kesunyian, dan kesederhanaan hanya saat ini. Atau mungkin ini adalah hari musim panas yang malas, duduk di geladak, mendengarkan lebah yang berdengung di sekitar Anda. Selama beberapa menit, Anda merasa terpisah dari kekhawatiran dunia, dan pikiran Anda terasa jernih. Hal ini terjadi pada kita semua, dari waktu ke waktu, tapi Anda bisa mengolahnya, berlatih secara teratur.

Anda bisa melakukan ini di mana saja, hampir setiap saat. Mulai di rumah; Paling mudah memulai di tempat yang sepi tanpa gangguan. Temukan tempat yang sepi untuk duduk: Anda tidak perlu duduk bersila di atas bantal meditasi, sebuah kursi juga bisa. Yang harus Anda lakukan adalah mencoba dan menjaga punggung tetap lurus.

Letakkan tangan Anda di paha Anda, tutup mata Anda atau mata menatap ke bawah sekitar satu meter di depan anda. Rasakan pernapasan Anda. Berkonsentrasi pada kenyataan bahwa Anda sedang bernafas. Anda mungkin akan menyadari bahwa pikiran Anda mulai menunjukkan kepada Anda berbagai gambar, dan Anda melompat ke arah mereka seperti anak yang mengejar mainan baru. Biarkan pikiran itu pergi. Jangan mencoba dan menghentikan mereka; Mereka hanya akan menjadi lebih kuat Tujuannya bukan untuk menyingkirkan pikiran, membungkam diri sendiri; Ini hanya tentang membiarkan pikiran itu menjadi dan tidak terikat di dalamnya. Biarkan saja mereka pergi.

Perlakukan pikiran Anda seolah-olah awan di langit. Anda mungkin melihat awan, melihat mereka bergerak, tapi Anda tidak akan pernah lupa bahwa di belakang mereka adalah langit biru yang jernih. Pikiran Anda tidak jelas: mereka muncul, mereka berada di tengah panggung, lalu mereka memudar. Begitu Anda menyadari hal ini, Anda mengerti bahwa semua pikiran Anda bisa hilang begitu saja jika Anda membiarkannya. Tidak perlu mengusir mereka; Biarkan mereka terus berjalan sendiri.

Di shikantaza , kita mencoba melangkah lebih jauh lagi, tanpa berpikir, melakukan meditasi tanpa tujuan. Untuk menemukan langit biru yang ada di balik awan pemikiran itu. Jangan khawatir tentang itu. Duduk saja, biarkan pikiran datang dan pergi, dan, saat Anda tersesat, kembalilah kepada kesadaran bahwa Anda sedang bernafas. Jangan khawatir tentang berapa lama Anda duduk, jangan khawatir tentang apa yang Anda butuhkan untuk dimasukkan ke dalam 15 menit atau satu jam atau satu hari. Berada bersama diri sendiri, biarkan diri Anda memiliki waktu untuk sekedar duduk.

Bila sudah cukup, bangun perlahan, dan jangan terburu-buru melakukan yang harus Anda lakukan selanjutnya. Cobalah dan biarkan perasaan santai yang Anda alami saat duduk sebentar sebelum kembali ke dunia. Jika Anda bisa melakukan ini selama beberapa menit setiap hari, Anda akan mulai menyadari bahwa tubuh Anda perlu menunda sendiri sesekali. Hal tentang hanya duduk adalah bahwa Anda dapat melakukannya di mana saja. Yang dibutuhkan hanyalah keinginan untuk duduk saja. Jangan khawatir tentang kebisingan di sekitar Anda; Anda akan terbiasa membiarkannya memudar.

Bahkan jika Anda tidak ingin “bermeditasi”, Anda bisa mencoba hanya duduk sebagai cara mencabut pikiran dari berbagai gangguan yang Anda hadapi siang hari. Hanya butuh beberapa menit, tidak ada biaya apapun, dan Anda benar-benar bisa melakukannya di mana saja. Hal yang hebat tentang hanya duduk adalah Anda dapat melakukannya tidak peduli apa keyakinan Anda. Apakah Anda seorang Buddhis, Kristen, atau Muslim, hanya duduk bisa sesuai dengan pandangan dunia Anda. Bahkan jika Anda tidak ingin bermeditasi, mungkin Anda mendapati bahwa hanya duduk selama beberapa menit setiap hari – bebas dari gangguan – akan membersihkan pikiran Anda.

Mengenai praktik ini, Dogen menasihati sebuah jenis tindakan yang tidak biasa ini, yaitu aktivitas yang sama sekali tidak peduli dengan manfaat atau pencapaian tujuan tersembunyi: aktivitas ‘hanya duduk’ atau ‘tidak ada apa-apa-tapi-duduk’ ( shikantaza ) dimana diri -memeriksa disisihkan dengan cara yang menyerupai ‘tubuh dan pikiran’ yang tegas. Namun, ini bukan hanya penyatuan ketenangan dan wawasan, lebih dari itu maka ini adalah deskripsi tentang esensi alami dan fungsi pikiran.

Sementara Anda berlatih hanya duduk, jelaskan semua hal yang terjadi dalam pikiran Anda. Apapun yang Anda rasakan, sadarilah, tapi jangan pernah meninggalkan kesadaran seluruh tubuh Anda bahwa Anda sedang duduk di sana. Ini adalah praktik yang sangat menuntut, membutuhkan ketekunan dan kewaspadaan. Jika latihan Anda berjalan dengan baik, Anda akan mengalami sensasi dan pikiran “menghempas”. Anda harus tetap bersamanya dan mulai mengambil ruang di seluruh lingkungan sebagai tubuh Anda. Apa pun yang memasuki pintu indra Anda menjadi satu totalitas, terbentang dari tubuh Anda ke seluruh lingkungan. Ini adalah iluminasi diam.

Shikantaza adalah “hanya duduk, adalah peringatan perhatian nonselektif yang tidak mengejar atau menekan pikiran, sensasi, dan lain-lain, namun, sebaliknya, memberi perhatian yang jelas terhadap apa pun yang muncul dan lenyap dari kesadaran. Shikantaza adalah pikiran seseorang Samurai yang menghadapi pertarungan hidup-mati. Mungkin dapat dibayangkan bahwa Anda terlibat dalam duel ilmu pedang seperti itu, jenis pertarungan yang biasa terjadi di Jepang kuno. Shikantaza sering disebut meditasi tanpa gol dalam kesadaran tenang.

Tenang duduk dalam kesadaran terbuka, yang mencerminkan langsung realitas kehidupan. Tidak ada pikiran yang berada di dalam pikiran selamanya. Semuanya akan datang dan pergi, dan kita membiarkan semuanya berjalan dengan bebas dan membiarkan mereka pergi dengan bebas. Kami tidak mencoba untuk melawan pikiran atau kondisi mental lainnya, dan kami juga tidak mencoba untuk berinteraksi dengan mereka. Tujuannya bukan untuk memahami apa yang muncul dari kesadaran Anda, melainkan untuk mencapai wawasan tentang Alam Sejati (kensho). Tidak mengerjakan koan apapun, atau menghitung nafas. Ini adalah kondisi waspada, dilakukan tegak, tanpa jejak kelesuan atau kantuk.

Meditasi Shikantaza berarti mengklarifikasi dasar pemikiran dan tinggal dengan nyaman di alam Anda yang sebenarnya. Ini disebut mengungkapkan diri Anda dan mewujudkan landasan aslinya. Bebas dari pertimbangan kebaikan dan kejahatan, Shikantaza melampaui perbedaan antara orang biasa dan orang bijak, hal itu melampaui penilaian yang tertipu atau tercerahkan. Mediatasi Shikantaza tidak mencakup batas antara makhluk hidup dan Sang Maha Pencipta. Karena itu sisihkan semua urusan, dan lepaskan semua asosiasi. Tidak melakukan apa-apa Keenam indra itu tidak menghasilkan apa-apa. Ini bukan memoles cermin tapi cermin yang secara alami tidak terikat oleh gambar yang dipantulkan.

“Tidak-berpikir” berarti “tidak berpikir dalam pikiran.” Tidak taat adalah sifat asli manusia. Pikiran tidak berhenti dari waktu ke waktu. Pemikiran sebelumnya digantikan setiap saat oleh pemikiran selanjutnya, dan pikiran terus berlanjut satu demi satu tanpa henti. Jika, untuk satu saat pikiran, ada jeda, tubuh sejati memisahkan diri dari tubuh fisik, dan di tengah pemikiran berturut-turut tidak akan ada keterikatan terhadap materi apa pun. Jika, untuk satu saat pikiran, ada taat, maka akan ada banyak pikiran berturut-turut, dan inilah yang disebut melekat. Jika, sehubungan dengan semua hal tidak ada yang abadi dari momen pemikiran sampai saat berpikir, maka tidak ada kemelekatan. Tidak taat pada apa yang muncul dalam pikiran adalah dasarnya.

Dalam melepaskan pemikiran, kita melepaskan sikap subyek pemikiran batin dan membuka diri pada bidang pengalaman langsung. Anda melepaskan diri dari pengambilan tindakan dan dengan demikian melepaskan objek dari konseptualisasi. Dengan demikian melepaskan subjek dan objek, Anda berlatih segera hadir dalam kepenuhan pengalaman.
Sedangkan untuk apa yang terjadi saat duduk, bisa jadi apa saja. Satu-satunya hal yang penting adalah apakah seseorang tersedot oleh kejadian yang sedang berlangsung atau tidak. Anda sebenarnya tidak perlu melakukan apapun kecuali membiarkan hal-hal yang terjadi di dalam pikiran mengalir. Namun ketika Anda menyadari bahwa Anda berinteraksi dengan apa yang terjadi dalam pikiran Anda, berhentilah berinteraksi dan kembali ke postur zazen sambil bernafas dengan mata terbuka. Itu berarti Anda melepaskan pikiran apa pun yang muncul, Dan Anda juga tidak tidur. Inilah intinya dalam latihan duduk.

Hal ini berarti tidak sengaja memikirkan sesuatu (shiryu), juga bukan sengaja memikirkan sesuatu (fushiryo), tapi hanya menyadari pikiran yang datang dan pergi (hishiryō). Atau dengan kata lain, bukan pikiran sibuk, bukan pikiran yang tertidur, tapi pikiran sadar, dalam kesatuan penuh dengan kosmos. Tidak memikirkan apapun adalah Jalan. Begitu Anda tahu ini, semuanya menjadi Jalan.


V.              KONTEMPLASI DAN MOMEN HAIKU

Ini adalah tentang Haiku, puisi mungil yang sarat dengan filosofi dan estetika. Menulis haiku dengan pemahaman atas segenap esensinya, pada intinya belajar untuk “membersihkan pintu persepsi”. Haiku harus muncul dari pikiran terbuka dan tidak terhalang oleh dorongan apapun untuk membuat sesuatu dari kenyataan yang menjadi perhatian penyair.

Momen haiku atau “Saat Haiku”, hanyalah sebuah flash kecil, sebuah realitas yang kemunculannya tidak dikondisikan oleh apapun kecuali oleh tangan kreatif alam yang tak henti bekerja (Zoka). Itu mungkin suatu kejadian kecil yang luput dari perhatian banyak orang. Namun ketika intuisi penyair bekerja, hal yang seperti itu mampu menyuarakan nilai-nilai universal yang mampu dipahami secara umum meski sebelumnya mungkin tak pernah tersimpulkan oleh akal pikiran sadar manusia. Ini hanya sebuah fenomena kecil namun menggemakan gelombang rasa dan aura Keagungan Ilahi, hal yang tak sepenuhnya mampu dicerna oleh kelima indera kita.

“Saat Haiku” adalah fenomena alam dan alami. Mungkin itu hanya tentang daun-daun yang berubah warna atau yang kering berguguran, mungkin itu hanya sekuntum bunga kecil liar di tengah padang rumput, mungkin itu tentang air sungai yang menyusut atau dasar rawa yang mengering dan merekah, atau mungkin suara seekor gagak saat matahari terbenam……Fenomena itu ditangkap oleh penyair, dengan pikiran yang jernih sehingga tercermin darinya fenomena yang terjadi, terekam oleh alam pikiran bawah sadar…dan jiwa spiritual penyair mengolahnya menjadi sebuah puisi pendek yang kita namakan sebagai haiku. Haiku adalah puisi alam yang keluar dari kehidupan spiritual penyair, dan haiku yang baik sampai ke dalam kehidupan spiritual pembacanya. Inilah yang sering kita sebut sebagai PUISI KONTEMPLASI!

Seorang haijin pemula kadang berteriak dengan kerasnya “lihatlah ini momen haiku!”….namun sayang ego subjektifnya, katakanlah itu imajinasi atau ide-de atau teori sastra yang dimilikinya mengaburkan persepsinya tentang objek. Dalam haiku, pikiran adalah cermin, ia hanya memantulkan benda-benda, suasana, dan warna-warni yang ada di sekitarnya.

Kontemplasi dalam haiku, ini bukan tentang “membersih cermin”, melainkan sebuah kesadaran bahwa tiada bayangan yang kekal melekat pada sebuah cermin. Ini hanya tentang sebuah lintasan kehidupan pada setitik ruang dan waktu, sebuah fenomena alam dan alami yang memunculkan dirinya ke dalam sebuah kolam pikiran yang jernih. Hal yang tercerahkan adalah jiwa atau bathiniah kita, bukan hal-hal yang bersifat fisik adanya.
Haiku adalah tentang pengalaman baru yang bersifat mencerahkan (Kensho). Kenshō adalah istilah bahasa Jepang dari tradisi Zen . Ken berarti “melihat,” shō berarti “alam, esensi”. “Melihat esensi diri sejati”. Istilah kenshō sering digunakan secara bergantian dengan satori, yang berasal dari kata kerja satoru dan berarti “pemahaman; pengertian”. Kensho adalah pengalaman yang mencerahkan, pengalaman yang melampaui kualitas baik-buruk, hitam-putih, objek-subjek. Karena itu “Satir” dan yang sejenisnya tidak bisa digolongkan sebagai haiku. Senryu cenderung melihat dari sisi negative atau ketimpangan, ketidaksempurnaan atau ketidakkekalan sebagai bahan sindiran dan sejenisnya.

Kontemplasi adalah bagaimana mencabut akar kebingungan atau kegelisahan dari dalam akal pikiran kita. Imajinasi atau kegelisahan atau khayalan mewujudkan dirinya ke dalam kolam pikiran kita, mempengaruhi cara berfikir dan tindakan kita dalam keseharian, dari waktu ke waktu kita terjebak dalam ilusi kehidupan. Haiku hadir sebagai puisi untuk tujuan spiritual, dengannya kita belajar membersihkan pintu persepsi, untuk menyimak tunjuk dan ajar alam, menjadi harmoni dan selaras dengan alam semesta.

Jadi haiku tidak lebih dari sebuah refleksi, menemukan cermin diri pada musim atau waktu yang berubah. Alam yang ramah menampakan dirinya, memunculkan jiwa seni sejatinya melalui apa yang kita katakan dengan istilah “Zoka”, ia mengungkapkan dirinya kepada kita “ini seperti yang dialami manusia” dalam perspektif “kemanusiaan kita bersama”.
Mereka (alam) menawarkan “hal yang puitis” kepada haijin, untuk melihat sesuatu melalui dirinya, dan persepsi yang jernih memantulkannya ke dalam ruang hati haijin, dan di sana haiku diproses lalu keluar sebagai puisi. Persepsi jernih mampu “menerimanya”, menyerap kemurniannya dalam kualitas: kasih sayang, sukacita, ketenangan, kedamaian, kesunyian, kesederhanaan, dan juga humor yang halus.

Haiku adalah ekspresi yang paling menyeluruh dari sastra Zen. Kekuatan haiku Zen terletak pada perwujudan bentuk dan kekosongan. Haijin mengambil alam sebagai subyek mereka, karena lebih mudah diakses untuk kontemplasi dan juga karena menyadari kekuatan Zoka. Namun ketika alam ternyata berubah menjadi dramatis maka hanya penyair haiku yang terbaik yang bisa mengungkapkan drama dan mempertahankan semangat haiku tanpa terjebak ke dalam melodrama subjektif.

Dalam perspektif Haiku Zen, ada dua kondisi optimum untuk pembuatan haiku: Pertama, memahami “saat haiku” sebagai priming (warna dasar) dan internalisasi bentuk…masuk ke suasana hati dan motif haiku untuk berbagi. Kedua, membuka pikiran kontemplatif sebagai ekspresi kehidupan spiritual penyair. Dua kondisi ini hanya muncul dalam “kesadaran kekosongan”.

Kesadaran kekosongan ini dapat didefinisikan sebagai “Kesedihan atau melankolis yang timbul dari dalam diri penyair, apresiasi empati dari kehidupan fana yang ditunjukan oleh alam”. Mencerminkan kehidupan manusia, sebuah kesadaran atas karya seni yang dimunculkan oleh tangan alam, watak kreatif alam yang tak pernah berhenti berkreasi sepanjang waktu, sepanjang musim.

Basho bilang “Sabi adalah warna dasar (priming) haiku”. Sabi adalah “kesadaran kekosongan”, insubstantiality dan kerentanan fenomena. Kesadaran ini adalah “sikap menerima” yang menemukan sumber inspirasinya dari ajaran agama atau pengalaman hidup, penerimaan dengan kelembutan hati. Ada sebuah getaran halus kerinduan yang tak terlihat ujungnya, aura rasa kesedihan dari sesuatu yang datang dan berlalu seiring laju waktu.

Ini merupakan sebuah kesadaran bahwa hidup ini tidak kekal, tidak sempurna, dan semuanya pada akhirnya akan dibatasi oleh waktu. Sabi adalah jenis emosi murni dan luhur melankolis, bersih dari rasa egois, sikap menerima untuk menghormati apa adanya. Sabi adalah nilai-nilai spiritual yang muncul karena dipicu oleh fenomena di luar diri si penyair. Sedangkan Wabi adalah konstruksi filosofis, ide-de, ajaran agama, atau jalan spiritual yang bersemayam di dalam dada penyair.

VI.            PENGERTIAN “DI SINI, SAAT INI”  

Haiku kadang didefinisikan sebagai potret suatu momen di setitik ruang dan waktu. Dikatakan pula bahwa esensi haiku adalah: Esensi Pertama, format puisi 17 suku kata (ketika diucapkan) yang ditulis dalam 3 kelompok suku kata atau tiga baris dengan pola 5-7-5.  Untuk esensi pertama ini, tulisan ini tidak bermaksud membahasnya. Namun secara singkat dikatakan bahwa format 5-7 adalah format puisi yang lebih dahulu berkembang di sastra klasik Cina, dan menjadi 5-7-5 adalah sepenuhnya milik Jepang. Format 5-7-5 ini dikatakan telah ada di Jepang sejak abad ketujuh ketika puisi Tanka pertama kali muncul. Pola 5-7-5 dikatakan meniru pola suara burung Hong, penjelasannya secara panjang lebar sangat berbau mistis, dan pada intinya terkait dengan prinsip visual (penglihatan dengan mata zhoohir dan mata bathin) dan aural ( terkait dengan pendengaran oleh telinga lempung dan telinga bathin).

Esensi Kedua, haiku harus mengandung KIGO yang berarti isyarat waktu atau musim saat momen haiku terjadi. Ruang dan waktu adalah hal yang tak terpisahkan satu sama lain. Di dalam waktu ada ruang, demikian juga sebaliknya, di dalam ruang ada waktu. Salah satu filosofi Zen yang sangat terkait dengan kedalaman makna Kigo adalah “setiap yang berawal dari akan kembali ke”.

Karena itu Kigo itu sendiri sebetulnya sangat terkait dengan  “adegan” yang tercermin di dalam pikiran haijin .  Haiku bukan tentang objek, melainkan tentang adegan dari objek itu sendiri. Karena itu objek haiku sering dikatakan sebagai “subjek” (pelaku) sedangkan objek dalam konteks ini adalah manusia, diri si haijin sendiri; hal ini bermakna bahwa adegan yang ditampilkan subjek (benda-benda yang ada di alam) “menyerupai” dengan apa yang dialami oleh manusia.

Di dalam Kigo terkandung tiga hal: Waktu, Ruang, dan Zoka. Tidak ada yang kekal selagi berada di ruang dan waktu. Satu-satunya yang pasti di dalam ruang dan waktu adalah PERUBAHAN. Dalam konteks haiku Zen, perubahan itu diwakili oleh Zoka. Sehelai daun hidup pada awalnya dari sari bumi yang dihisap oleh akar dan berproses lalu muncul sebagai tunas, lalu menjadi daun hijau, lalu menguning, lalu layu dan gugur (Setiap yang berawal dari maka akan kembali ke) .  Ini adalah Zoka:  watak alam yang selalu berubah, sifat kreatif alam yang tak pernah berhenti bekerja sebagai mana halnya tergambar pada ranting-ranting yang tidak sama panjang, pohon-pohon yang tidak persis sama tinggi, kecambah yang tumbuh ada yang terlihat lurus atau bengkok, ada gunung api yang meletus dan tidak meletus, sungai menyusut atau meluap seiring musim, dan seterusnya. Zoka juga mengandung makna tentang kekuatan alam yang tidak sepenuhnya dapat dipahami, dikendalikan atau dikuasai oleh manusia.

Zoka adalah subjek yang sedang tampil di panggung (suatu tempat di atas bumi atau di langit atau di bawag laut), tengah melakukan suatu adegan di suatu musim atau siang atau malam atau senja atau fajar atau pagi. Tonggeret berbunyi, laron muncul bergerombol, daun-daun di pohon jati berguguran adalah zoka.

Zoka sangat terkait dengan tempat. Bunga sakura mekar di Jepang, dibandingkan bila mekar di Kebun Raya Bogor jatuh pada waktu (bulan) yang berbeda bahkan mungkin keindahannya sangat berbeda, karena disebabkan oleh perbedaan karakter cuaca dan musim, disebabkan oleh iklim yang berbeda.   Bumi ini terbagi dalam beberapa zona iklim, Indonesia termasuk iklim tropis yang ditandai oleh adanya panas sinar matahari sepanjang tahun, sedangkan Jepang memiliki iklim subtropis yang memiliki empat musim.

Karena itu kigo dalam haiku selalu terkait tempat, bila anda mengalami “saat haiku” (momen haiku) di Indonesia maka gunakanlah kigo yang ada di Indonesia, bukan kigo salju dan momoji yang mana hal itu bukanlah mencerminkan alam Indonesia. Saya perhatikan kadang ada haijin yang “salah kaprah”, atau mungkin maksudnya “agar keren”, menyebutkan salju atau peristiwa musim semi entah di mana, namun tersyirat dari objeknya bahwa haiku itu merujuk pada suatu tempat di Bandung.  Haiku yang begini pantas untuk dikatakan sebagai “haiku yang tercabut akarnya dari bumi di mana momen haiku itu terjadi”.  Ini adalah “kebohongan puisi” yang tidak memberikan nilai kebaikan apa-apa bagi penulis maupun pembacanya.

Esensi Ketiga, KIREJI. Bahwa haiku yang terdiri dari 17 suku kata suara itu meskipun ditulis dalam tiga baris, harus terpenggal menjadi dua bagian. Teknik apa pun yang anda gunakan dalam menulis haiku, maka haiku sifatnya “tidak mengungkapkan gagasan atau ide-de” tapi “mengemukakan gambar yang mencerminkan intuisi”. Haiku Zen dicirikan adanya ketegangan dan kontras antar gambar frase dan fragmen. Haiku yang 17 suku kata itu harus terpenggal menjadi dua bagian, bagian yang terpanjangnya disebut sebagai Frase (12 suku kata) dan bagian yang terpendeknya disebut sebagai Fragmen (5 suku kata).

Kireji tujuannya memasok dukungan untuk struktural, karena itu ia bersifat memenggal sehingga teks haiku terdiri Frase yang membentuk satu gambar dan Fragmen juga membentuk gambar tersendiri. Keduanya disejajarkan, ketegangan dan kotras antar gambar frase dan fragmen memunculkan resonansi atau percikan api yang mengarah pada perenungan (kontemplasi).

Pengertian Kireji dapat dicontohkan sebagai berikut: anda menyebutkan suatu adegan yang ada di alam lewat Frase (12 suku kata), katakanlah gambar itu kita sebut sebagai “gambar putih”. Lalu teks haiku terpenggal atau tercipta rongga, selanjutnya lewat fragmen (5 suku kata) anda memunculkan “gambar hitam” sebagai gambar pembanding, dan lewat penjajaran kontras antara gambar putih dan gambar hitam itu muncullah ketegangan dan resonansi ketika dibaca. Tujuan penjajaran yang anda lakukan adalah guna mengungkapkan adanya “pengalaman baru yang mencerahkan” yang telah anda alami di suatu tempat di suatu waktu. Gambar-gambar yang bersifat visual apa adanya itu mencermin suatu peristiwa nyata di setitik ruang dan waktu dalam kehidupan anda.

Keterpenggalan haiku menjadi dua bagian, ketika dibaca, maka memunculkan luka atau rongga atau jeda atau ruang. Ruang ini disebut sebagai Ma, ruang di mana pikiran pembaca dan haijin bertemu, tempat di mana ketegangan dan kontras memunculkan percikan api atau resonansi yang sampai ke benak pembaca.  Kireji adalah keterpenggalan haiku, memenggal untuk membuat haiku menjadi indah, seperti seorang perangkai bunga memenggal bunga dari tangkainya untuk tujuan seni merangkai bunga,  memunculkan ketegangan dan kontras antar gambar frase dan fragmen (visual dan atau aural) yang memberikan efek yang bersifat mencerahkan (Kensho).

Haiku adalah potret suatu momen di setitik ruang dan waktu. Terkait dengan prinsip Zen, bahwa ketegangan dan kontras antar gambar frase dan frgamen haruslah mencermin “saat ini, di sini”. Banyak yang menafsirkan “saat ini di sini” sebagai adegan “live”, seperti siaran langsung acara Televisi. Karena itu sering muncul perdebatan yang tidak perlu. Padahal maksud sesungguhnya pengertian “saat ini di sini” adalah kekosongan, zero ruang dan zero waktu. Hanya dengan satu titik maka terciptalah ruang dan waktu, tanpa titik adalah kekosongan.

Ini adalah tentang objek dan subjek yang menjadi satu, melampaui dualisme dan kontradiksi kehidupan, saat di mana haijin merasa menjadi gelembung udara dan menyatu dengan alam.  “Saat ini di sini” objek dan subjek menjadi satu, namun ini bukanlah penyatuan yangh kekal melainkan penyatuan sesaat, dan tetap tunduk pada prinsip “setiap yang berawal dari akan kembali ke”.  Sampai pada titik ini maka Kensho (bagi haijin) diartikan sebagai “melihat esensi kejadian alam” yang menjadi fokus perhatiannya, dan pengalaman penyatuan itu dikatakan sebagai pengalaman baru yang sifatnya “sesaat” dan mencerahkan (Kensho), bukan pencerahan sejati (Satori).  Kualitas Satori umumnya hanya bisa dicapai oleh para pendeta Zen.  

Memahami pengertian “saat ini di sini” seperti halnya kita harus menjawab pertanyaan “ dapatkah engkau menggambarkan bagaimana rupa bapakmu, sebelum kakek buyutnya dilahirkan?”. Artinya, konsep ini terkait dengan pengetahuan tentang “alam ruh”, terkait dengan  diri sejati yang tercipta lebih awal, yang setiap saat dapat terpisah dari jasadnya. Jasad kita yang fana ini berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah, namun ruh kita yang lebih dahulu tercipta sebelum dipertemukan dengan jasadnya setiap saat akan kembali kehadapan Sang Maha Pencipta. Sekali lagi ditegaskan, bahwa pengertian “saat ini di sini” terkait dengan konsep “pikiran adalan cermin, bukan lensa” dan terkait pula dengan 3 prinsip penting Haiku Zen: tidak ada yang kekal, tidak ada yang sempurna, dan tidak ada yang selesai.

Haiku Zen adalah puisi untuk tujuan spiritual, dengan demikian haijin secara praktis diharapkan dapat mencapai perspektif holistik dalam kognisi. Sehingga haijin dapat menikmatinya, dengan keheningan pikiran, kehidupan yang cenderung mengarah pada hal yang konkret, berdasarkan kejadian dalam kehidupan sehari-hari dan alam.


VII.          PENJAJARAN DAN KONTRAS

Haiku Zen (Haiku tradisional Jepang) umumnya dicirikan oleh satu hal yakni, menghadirkan ketegangan dan kontras.  Haiku umumnya terdiri dari dua bagian, bagian yang terpendek (5 suku kata) kita sebut sebagai Fragmen dan bagian yang terpanjang  (12 suku kata) kita sebut sebagai Frase. Sebagai efek Kireji, keterpenggalan menjadi frase dan fragment maka terciptalah luka, jeda, rongga atau ruang yang kita sebut sebagai Ma.  Kita lihat skemanya: Fragment-Ma-Frase atau Frase-Ma-Fragmen.

Penjajaran dalam haiku umumnya adalah penjajaran antara dua hal yang bersifat Statis vs Dinamis. Fragmen umumnya memiliki karakter statis, sedangkan Frase umumnya memiliki karakter dinamis. Penjajaran ini menghadirkan ketegangan dan kontras, tujuannya untuk memunculkan efek “pencerahan atau pengalaman baru” bagi pembaca.

Haiku Zen tidak fokus pada objek, namun fokusnya pada adegan yang ditampilkan oleh “Objek Utama” dalam sebuah ayat haiku. Frase dikatakan memiliki karakter dinamis, artinya adegan dan objek utama dari adegan itu terletak pada bagian ini. Sekarang kita simak dua haiku Basho yang sangat terkenal ini:

#1
Kolam yang tua
Katak melompat masuk
Suara air

Kolam yang tua (Fragmen/Statis)…..Katak melompat masuk/ Suara air (Frase/Dinamis)


#2

Keheningan
Suara jangkrik ini
Merembes batu

Keheningan (Fragmen/Satis)….Suara jangkrik ini/ Merembes batu (Frase/Dinamis)


 Dikatakan bahwa penjajaran Fragmen dan Frase dalam haiku Zen umumnya menghadirkan ketegangan dan kontras. Kita simak ketegangan dan kontras pada contoh kita:

Kolam yang tua…….Katak melompat masuk/ Suara air
Keheningan………Suara jangkrik ini/ Merembes batu

Garis putus-putus di atas adalam Ma. Dikatakan Ma adalah ruang tempat pikiran haijin dan pembaca bertemu. Artinya, bahwa untuk memahami isi serta ketegangan dan kontras kedua ayat haiku di atas kita harus “MASUK KEDALAM MA”.  Sekarang bayangkan bahwa tengah berada di dalam sebuah ruang kosong (Ma)…..lalu tiba-tiba dari sisi kiri anda ada yang berkata “Kolam yang tua”…lalu dari sisi kanan anda keluar kata lanjutannya “Katak melompat masuk/ Suara air”, demikian juga “Keheningan” dan “Suara Jangkrik ini/ Merembes baru”.

Suara dari kiri-kanan itu terdengar dengan jelas, dan anda dapat menyimak kontras antara situasi kolam tua dan suara air, atau kontras antara keheningan malam dan suara keras jangkrik. Lalu dalam hati anda bertanya, apa makna haiku ini? Atau mungkin anda bertanya pencerahan seperti apa yang coba ditawarkan oleh  kedua ayat haiku di atas?  Untuk menjawab pertanyaan ini, saya tunjukan sebuah analogi cerita yang memenuhi karakter zen, dalam rangka menyingkap “bagaimana cara berpikir Zen” terkait dengan dua hal yang kontras dan “pencerahan” dalam konteks “Haiku zen”.

Sekarang saya sebutkan dua kata yang kontras, memiliki citraan yang kuat dan dapat dipahami secara umum, yakni kata: Malaikat dan Iblis. Malaikat mengandung makna kebaikan dan mengajak kita ke sorga, sedangkan Iblis secara umum kita pahami sebagai keburukan dan menggiring kita ke neraka.

Cara berpikir Zen non-dualistik, tidak menghakimi, dan memahami dua hal yang kontras sebagai “dua sisi selembar kertas.” Memahami dua hal yang kontras adalah salah satu cara untuk menjernihkan pikiran, dan lewat kejernihan pikiran itu maka terlihatlah sebuah makna yang mencerahkan. Kontras antara malaikat dan iblis, Zen merangkul keduanya sebagai suatu kenyataan.

Cara berpikir Zen tidak menjawab persoalan tentang baik-buruk atas yang kontras itu. Namun dengan menerima kedua kenyataan ini, maka pikiran Zen terarah pada  suatu titik, fokusnya tidak pada malaikat atau iblis, melainkan pada percikan api makna yang dimunculkan oleh dua hal yang kontras ini. Secara sederhana kita dapat melihat makna yang mencerahkan dari hal yang kontras ini bahwa Malaikat dan Iblis ada atas “Kehendak-Nya”. Jawaban atas hal ini adalah kenyataan, bahwa kebaikan dan keburukan selalu ada di atas dunia yang fana ini, sejak awal bumi dihuni oleh manusia.

Cerita tentang malaikat dan iblis di atas hanyalah sebuah analogi cara berpikir Zen tentang dua hal yang kontras. Sekarang kita kembali pada dua ayat haiku di atas, dengan cara berpikir yang sama maka kita harus menemukan makna kontras antara “kolam tua vs suara air” dan juga makna kontras antara “keheningan vs lengkingan suara jangkrik”. Fokus pikiran kita tidak pada dua objek yang kontras, tetapi pada sesuatu yang bekerja di balik kontras “kolam tua vs suara air” dan juga sesuatu yang bekerja di balik kontras antara “keheningan vs lengkingan suara jangkrik”. Jawabnya tidak terkait dunia materil, melainkan muncul dari dalam kehidupan spiritual penyair dan pembaca.

VIII.   KETIDAKKEKALAN DAN KETIDAKSEMPURNAAN SEBAGAI INTI HAIKU ZEN

Wabi sabi adalah konsep estetika berasal dari ajaran Zen yang berpusat pada “PENERIMAAN AKAN KETIDAK-KEKALAN DAN KETIDAKSEMPURNAAN SEBAGAI SIFAT KEHIDUPAN”. Maksudnya bahwa hidup itu tidak kekal, selalu berubah dan harus diterima. Dalam paham ini, keindahan sering dianggap bersifat “tidak sempurna, tidak kekal, dan tidak komplit”. Pada prinsipnya, Haiku sebagai ekspresi menyeluruh prinsip-prinsip Zen, menerapkan estetika Wabi-Sabi sebagai prinsip-prinsip dasar puisi.

Dikatakan ada 3 esensi haiku, yakni: 5-7-5, Kigo, dan Kireji. Kunci terpenting untuk memahami haiku secara konseptual maka kita harus memahami Wabi-Sabi. Tiga esensi haiku, semuanya berakar pada Wabi-Sabi sebagai konsep penting dari Zen. Mempelajari Zen belum tentu membawa kita kepada konsep Wabi-Sabi. Namun mempelajari Wabi-Sabi akan membawa kita sampai kepada inti konsep Zen.

Kita hidup di dunia fana, di alam nyata, yang dicirikan dengan eksistensi 4 dimensi, yaitu: Dimensi Panjang, Dimensi Lebar, dan Dimensi Tinggi sebagai dimensi ruang; dan di dalam ruang itu kita berada dalam dimensi waktu. Tidak ada yang abadi di dalam ruang waktu kecuali perubahan. Dalam satu tarikan nafas kita, bersamaan dengan itu ada berjuta-juta perubahan yang terjadi di alam semesta ini. Kita tidak pernah tahu apa saja yang berubah dalam seper sekian detik itu.

Cepat atau lambat, terlihat atau tidak terlihat oleh mata kita, segala sesuatu yang ada di alam pasti akan berubah. Secara nyata, sehari-hari kita dapat melihat perubahan warna langit; ketika fajar, pagi, siang, senja, ataupun malam. Kita melihat tunas bermunculan, bunga-bunga mekar dan layu dengan sendirinya, rambut hitam mulai berubah menjadi putih, atau kita melihat perubahan-perubahan pada sisi kiri-kanan jalan yang sering kita lalui, atau melihat perubahan seorang anak dari bayi hingga ia bisa merangkak, berdiri, berjalan, berbicara, dan akhirnya menuju mandiri. Semuanya itu adalah perubahan. Apa makna sebuah perubahan? Perubahan adalah wujud nyata ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan hidup.  Setiap segmen perubahan di dalamnya terkandung makna ruang dan waktu, umumnya mencerminkan waktu yang berubah di dalam suatu ruang. Namun dapat juga mencerminkan ruang dan waktu yang berubah.

Sesuatu yang tidak kekal sifat utamanya adala berubah. Semua paduan unsur, yaitu segala sesuatu yang timbul sebagai akibat dari suatu sebab, dan yang pada gilirannya kemudian menimbulkan akibat, dapat dinyatakan dalam satu kata: “Ketidakkekalan”! Oleh karena itu, semua sifat hanyalah merupakan variasi yang terbentuk dari paduan ketidakkekalan, ketidakpuasan (nafsu hewani yang dimiliki manusia), dan kekosongan sebagai hakikat diri. Setiap bayi yang lahir adalah suci, namun kehidupanlah yang memberi warna pada kanvas yang putih bersih itu. Kekosongan di dunia dapat digambarkan seperti bayi yang baru lahir, dan itulah diri sejati kita ketika pertama kali berada di dunia.

Realitas alam semesta ini bukanlah merupakan suatu kolam yang tenang, akan tetapi merupakan suatu arus/ aliran yang mengalir deras. Tidak ada suatu makhluk yang tetap, tetapi yang ada hanyalah segala sesuatu yang timbul dan tenggelam. Pembentukan dan Penghancuran adalah sisi nyata perubahan yang berlangsung terus-menerus, yang tidak berhenti walau sekejap.

Hal ini dapat digambarkan seperti sebuah gelombang. Sebuah gelombang terbentuk naik, kemudian turun dan tenggelam, menimbulkan gelombang lain yang menyusul timbul. kemudian tenggelam pula, demikianlah seterusnya tidak henti-hentinya. Timbulnya sebuah gelombang bergantung kepada tenggelamnya gelombang yang mendahuluinya, dan tenggelamnya sebuah gelombang menimbulkan gelombang lain pula yang menyusulnya. Demikianlah arus ini mengalir terus tidak putus-putusnya. Perhatikanlah setangkai bunga, akan tampak waktu kuncupnya, disusul oleh mekarnya, setelah mekar mencapai puncak kemegahannya, akan menjadi layu, busuk, kering dan akhirnya lenyap.

Ketidak-kekalan merupakan suatu fakta yang bersifat Universal. Hal ini berlaku bagi manusia, gagasan, pemikiran dan perasaan, bagi hewan, tanaman, gunung, sungai atau segala sesuatu yang mungkin bisa kita beri nama. Ketidak-kekalan adalah suatu fakta yang tak terhindarkan. Segala sesuatunya mengalami perubahan yang konstan dari waktu ke waktu, seperti halnya suatu proses, kehamilan berlanjut ke proses kelahiran, bayi tumbuh menjadi anak-anak, anak-anak tumbuh mejadi remaja, remaja tumbuh menjadi dewasa, lalu menjadi tua dan mati.

Jadi haiku pada prinsipnya adalah puisi tentang ketidakkekalan sebagai realitas kehidupan. Ketidaksempurnaan adalah konsekwensi ketidakkekalan. Sesuatu yang tidak kekal pastilah ia tidak sempurna, sesuatu yang tidak sempurna ciri utamanya adalah berubah. Haijin melihat perubahan-perubahan itu, baik pada tataran mikro ataupun makro kosmos. Perubahan-perubahan pada tataran mikro kosmos adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkup kehidupan mikro seperti yang terjadi pada perubahan perilaku semut, laba-laba, atau sekuntum bunga liar di tengah hutan belantara. Sedangkan perubahan-perubahan pada tataran makro kosmos adalah perubahan dari siang menjadi malam, atau perubahan dari musim penghujan ke musim kemarau, atau perubahan-perubahan yang terjadi di wilayah yang memiliki empat musim.

Ketidakkekalan adalah inti dari segala inti Zen. Karena itu haiku harus menghadirkan adegan dan kigo sebagai cermin bahwa suatu perubahan telah terjadi. Untuk selalu membawa kigo menjadi hidup adalah ekspresi terhadap perubahan, dan tugas haijin adalah menemukan makna di balik perubahan itu. Semua itu dicermati dan direnungkan maknanya, berdasarkan sikap penerimaan atau sikap penghormatan kita atas ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan sebagai sifat kehidupan.

Wabi adalah kemandirian berpikir kita ketika mencermati dan merenungkan apa yang terjadi di lingkungan kita. Ketidakbergantungan pada apa pun untuk memaknai sesuatu tujuannya adalah guna memunculkan orisinalitas sebuah karya. Ajaran agama ada di dalam diri kita, dan pemahaman kita terhadap ajaran agama menjadi nafas haiku kita, meski kita tidak menuliskan nama Tuhan di dalam haiku yang kita tulis. Kontemplasi, perenungan, atau kesaksian mata hati kita atas Keagungan Ilahi sebagai ekspresi puisi (Haiku) ditunjukan dengan gambar hidup (secara visual) sebagai bukti bahwa itu sebuah kesaksian nyata, bukan hasil otak-atik ide atau gagasan lalu diuraikan atau dijelaskan dengan pikiran rasional. Kata-kata, baik itu secara lisan atau tertulis, adalah hal yang paling sering menipu diri kita. Menyampaikan gambar apa adanya, jernih dan dapat ditangkap dan dicermati oleh pembaca adalah cermin dari prinsip kejujuran sebuah haiku.

Menyajikan sebuah gambar hidup sama halnya dengan menyajikan berbagai makna kedalaman halus. Sebuah karya haiku haruslah memiliki gaung di dalam diri haijin sendiri, darinya maka keluarlah nuansa dan kemungkinan yang berlapis-lapis, di satu sisi dapat dirasakan dengan jelas keberadaannya,  namun pada sisi lainya sulit untuk disimpulkan dengan kata-kata. Wabi adalah murni menggambarkan siapa diri haijin yang berada di balik haiku yang ditulisnya. Ketidakbergantungan adalah satu sisi dari objektifitas dalam berpikir, dan kedalaman halus adalah sisi lainnya. Objektifitas dalam berpikir adalah inti dari tindakan menghadirkan “Wabi” dalam haiku. Objektifitas dalam berpikir berarti memberi ruang bagi intusi untuk tampil sebagai bentuk, mewujudkan dirinya sebagai warna dasar puisi (Sabi). 

Sabi adalah keindahan yang melekat pada objek dan fitur-fiturnya. Keindahan yang bernilai “Sabi” tidak akan muncul dalam sebuah karya haiku bila haijin tidak mengerti tentang “Wabi”. Sehebat apa pun nama besar seorang penyair, bila ia tidak mampu menghadirkan “Wabi” maka ia tidak akan mampu memaknai objek yang bernilai “Sabi” sebagai warna dasar (priming) haiku. Hadirkan Wabi terlebih dahulu, baru muncul nilai-nilai Sabi sebuah ayat haiku. Sabi adalah sublimitas nilai-nilai kehidupan spiritual haijin , yang mana hal ini ruhnya adalah sikap pemenerimaan haijin terhadap realitas kehidupan: ketidak-kekalan dan ketidaksempurnaan sebagai sifat kehidupan. Objek Sabi bersifat asimetris, objek-objek yang secara bentuk, warna, dan kualitasnya mencerminkan ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan makhluk yang tercipta.

Haiku yang memiliki nilai Wabi-Sabi umumnya memperlihatkan tiga hal yakni: kesederhanaan, ketenangan, dan kealamiahan. Kesederhanaan adalah bahwa haiku ditulis dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dicerna oleh pembaca. Dalam kesederhanaan itu maka hadirlah gambar yang jernih, mencerminkan pengalaman estetis yang mendalam, mencerminkan pemahaman atas ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan sebagai sifat kehidupan. Lewat sebuah kesederhanaan bahasa ungkap maka dihadirkan pula ketenangan sebagai gambaran tingkat spiritual haijin, dan kealamiahan sebagai ekspresi kejujuran dan ketulusan haijin pada alam.


@CopyRightBeniGuntarman

******
Sumber Tulisan: Disarikan dari berbagai sumber.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

30 TANKA KARYA BENI GUNTARMAN

MENULIS TANKA